Kamis, 14 Juli 2011

Mister Ngaret, I Love You !! [Cerpen]

MISTER NGARET!! i love you

Aku melirik jam tanganku lalu mendesah kesal. Oke. Sudah kesekian kalinya dia terlambat. Apa susahnya sih tepat waktu? Bukannya dia yang mengajakku nonton??

Aku mengitari pandangannku mengelilingi bioskop yang ramai oleh orang-orang. Tidak kutemukan sosoknya.

Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan membuang dua tiket nonton yang sudah kubeli dengan perasaan bahagia-awalnya- ke tong sampah dengan perasaan jengkel.

Gagal semua rencana malam mingguku bersamanya.. untuk kesekian kalinya. Ya, bukan hanya satu kali tapi terlalu sering. Mungkin aku bisa sabar tapi saat ini kesabaranku sudah sampai puncak. Kalau saja bukan karena aku sayang dengannya. Mungkin sejak awal sudah kuputuskan hubungan kita.

------- ------ ------ -----

Aku masuk ke dalam kelas dengan kesal. Aku membanting tasku di atas meja. Diana teman sebangku-ku langsung tersentak dan membulatkan kedua matanya yang sipit.

‘bikin kaget aja. Kenapa? Evan telat lagi kemarin?” tanya Diana langsung. Dia memang sudah bisa menebak hal yang membuatku uring-uringan plus jengkel bukan main pagi ini pasti karena ‘si mister ngaret evan’ itu.

Aku mengangguk. “Iya.. kapan sih tuh orang bisa berubah. Dasar mister ngaret!!!”

Diana terkekeh pelan, “kenapa enggak coba lo tanya sama dia..??”

Aku kembali memasang wajah cemberutku. “Udah sering, tapi si mister ngaret tuh bilangnya ya ketiduran, lupa,, de el el....”

“Liat aja.. gue pasti mutusin tuh orang. Gue udah enggak tahan sama kelakuannya..” kecamku.

Diana berkata sambil asik memainkan BB-nya., “lo mau putus sama evan? Yakin? Setiap kali lo kesel dibuatnya lo selalu bilang gitu… tapi ujung-ujungnya lo enggak pernah bisa putus sama Evan. Iya kan??”

Aku terdiam. Memang iya sih. Setiap kali aku ada masalah sama Evan, pasti aku selalu bilang engak tahan dengannya dan aku akan mutusin dia. Tapi nyatanya. Udah dua tahun aku tidak juga putus dengannya.

“abis… gue sayang sama dia..”

Diana tertawa lagi, “gue tau lo pasti bilang gitu. Udah deh. Kayak lo enggak kenal si mister Evan aja. Tuh.. sekarang aja dia belum keliatan batang idungnya. Padahal 2 menit lagi bel masuk..” Diana menunjuk kearah kursi kosong yang berada di pojok kanan depan. Itu adalah tempat duduk Evan. Memang evan dan aku sekelas.

Dan benar saja sampai bel tanda masuk, Evan belum juga datang. padahal hari ini pelajaran Kimia. Pak Budi guru super killer yang mengajar.

Dan tengg.. belum lama pak Budi masuk. Orang itu masuk ke dalam kelas dengan wajah tidak berdosa sama sekali. Pak Budi yang tidak suka muridnya datang telat saat pelajarannya tanpa banyak kata langsung mengisyratkan Evan keluar dai ruang kelas.

Aku hanya menghela nafas memandanginya. Sebenarnya kasihan. Tapi bodo amat. Dia pantas dihukum.

----- ---- ------- ------- -------

“Vivi.. gue minta maaf deh.. enggak akan gue ulangin lagi.. “ pintanya dengan tatapan memelas. Aku tidak memperduikannya dan tetap asik memakan Bakso-ku. Enggak akan lagi? Omong kosong!!

“Janji deh Vi,,” katanya lagi sambil mengacungkan dua jarinya berbentuk ‘V’

Aku tetap diam dan tidak mengacuhkannya.

“Vi…”

“ahh.. udah deh van. Bosen tau denger janji-janji lo yang enggak akan ngaret lagi. Pertama.. tiap kali lo ngajak nonton.. lo selalu datang telat. Kedua.. tiap kali lo mau nganterin gue kemana aja.. lo selalu dateng telat juga.. dan ketiga.. ke sekolahpun lo telat. Alesannya yah enggak ketiduran, kecapekan, lupa. Sebenernya lo itu ngapain sih??kemarin sabtu pun lo ngaret.. ” omelku panjang lebar. Aku lalu beranjak dari dudukku dan meninggalkan Evan.

Terdengar langkah kaki yang berlari ke arahku. Evan mengejarku dari belakang dan menarik lenganku.

“Vi.. gue punya alasan kenapa gue selalu ngaret.”

“apa?? Udah lah.. gue enggak mau tahu…” kataku keras. Aku lalu melepaskan tangan Evan dari pergelangan tanganku. “Mungkin… sebaiknya kita udahan aja..” Ucapku lagi, aku lalu membalikkan tubuhku dan berjalan pergi tapi evan menarikku lagi.

“Maksudnya??”

“Maksudnya kita putus,,”

Terlihat raut bingung di wajah Evan. “P-putus?”

Aku tidak menjawabnya dan pergi meninggalkan Evan. Mungkin seharusnya aku melakukan ini karena aku benar-benar tidak tahan dengan perilakunya yang tidak pernah tepat waktu. Aku sudah malas untuk merubah sikapnya itu.

----- ---- ----- ------ ------

Seminggu setelah aku bilang pada Evan untuk mengakhiri hubungan kami. Aku dan dia tidak pernah bicara lagi meskipun kami di satu kelas. Bahkan kami tidak pernah berani menatap mata satu sama lain.

Sebenarnya setelah hari itu aku menangisi semua yang kulakukan. Perkataan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mungkin karena aku emosi. Aku sangat menyesali perkataanku. Setelah kejadian itu juga aku berubah menjadi pendiam. Sikap Evan juga berubah. Setiap kami berpapasan dia selalu membuang mukanya. Apa dia marah karena sikapku??

Diana temanku yang sangat mengetahui bagaimana perasaanku selalu berusaha menghiburku.

“Vi.. lo masih setengah hati kan putus sama Evan??” tanyanya yang tiba-tiba duduk di sampingku saat aku termenung duduk sendiri di bawah pohon dekat lapangan bola sekolah ketika jam istirahat.

Aku tidak menjawabnya. Tapi aku tahu Diana pasti bisa membaca apa yang kurasakan dari raut wajahku.

“Kenapa enggak ngomong lagi sama Evan?”

Aku menggeleng. Terlambat. Evan tidak akan menerimaku lagi.

“Belum terlambat kalau lo belum coba..” kata Diana yang sepertinya bisa membaca apa yang aku pikirkan.

“tapi… gue takut Evan marah karena sikap gue. Bahkan gue enggak mau denger penjelasnya dulu dan langsung bilang sebaiknya kita udahin hubungan kita..” kataku dengan penuh penyesalan.

“Lo punya satu kesamaan. Sama-sama keras. Sampai kapanpun masalah enggak akan selesai kalau kalian enggak mau bicara satu sama lain.. hemm.”

Benar juga. Aku tidak benar-benar marah dengan Evan yang tukang ngaret. Hanya sedikit kesal. Tapi sekarang rasa kesalku sudah hilang. Aku juga sadar. Kalau aku masih sangat sayang dengannya. Aku juga kangen sama Evan.

Aku harus menemuinya dan membicarakan semuanya baik-baik.

----- ---- ----- ----- ------

Aku berjalan menuju kelasku. Aku berharap Evan berada di sana. hatiku berdebar. Aku takut Evan tidak mau bicara denganku lagi.

Aku melangkah masuk ke dalam kelas. Tapi tidak kutemukan sosok Evan di sana. kemana dia??

Aku bertanya pada salah satu temanku dan katanya Evan bilang dia mau ke perpus. Aku mengerutkan dahi. Tumben sekali. Apa dia berubah jadi rajin membaca setelah seminggu kita tidak pernah bicara? Pikirku.

Aku langsung berjalan menuju perpus. Tapi di tengah perjalanan langkahku terhenti karena aku menemukan sosok Evan sedang duduk di salah satu bangku di bawah pohon besar di halaman sekolah. Tapi ia tidak sendiri. Ia bersama seseorang. Orang itu adalah Nina. Anak kelas 11. Dia junior kami yang katanya menyukai Evan.

Apa selama seminggu mereka menjadi dekat?

Aku mulai berpikir macam-macam. Tapi aku segera menepisnya. Mungkin mereka hanya sekedar ngobrol biasa. Kataku pada diri sendiri.

Tapi aku menangkap sesuatu yang aneh di antara mereka. Tatapan mata Nina pada Evan berbeda. Mereka juga terlihat sangat akrab. Evan juga terlihat sangat senang dan mereka tertawa bersama dengan lepas. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyerang hatiku. nafasku sesak. Aku rasa aku cemburu melihat pemandangan ini.

Aku segera melangkah pergi. Aku rasa semua sudah benar-benar berakhir. Tidak ada harapan bagiku. Evan juga sepertinya sudah melupakanku. secepat itu kah? apa karena Nina?

Tanpa terasa cairan hangat menetes dari pelupuk mataku. Aku langsung menghapusnya dengan punggung tangan. Aku tidak boleh menangis.

----- ----- ----- ----- ------

“Vi.. gue masuk ya..” seru Diana dari luar kamarku. Ia lalu membuka pintu kamarku dan masuk ke dalam lalu duduk di pinggir ranjangku. Aku merubah posisi tidurku memunggunginya.

“Vi.. udah 2 hari lo sakit. Kata tante lo juga enggak mau makan terus ngurung diri mulu di kamar. Kita kan udah mau UN.. jadi lo harus jaga kesehatan. apa karena Evan??”

Aku hanya diam. Air mataku megalir lagi membasahi bantalku.

“Vivi.. kenapa lo jadi lemah begini sih? Hidup lo itu belum berakhir biarpun hubungan lo udah berakhir sama Evan. Sebenernya lo udah ngomong semuanya belum sama Evan?”

Aku bangun dari tidurku dan merubah posisiku setengah badan. Aku memeluk boneka hati pemberian Evan saat ulang tahunku tahun lalu dengan erat.

“Diana.. gue rasa hubungan gue dan Evan udah selesai.” Gumamku lirih.

Diana mengangkat sebelah alisnya, “heh? Apa Evan yang ngomong begitu kemarin??’

Aku menggelengkan kepalaku. “enggak.. tapi gue rasa dia emang udah lupa sama gue..”

“Vi.. ya enggak mungkin lah. Lo udah jadian sama dia 2 tahun gitu. Baru dua mingguan masa dia udah lupa sama lo..”

Tapi buktinya, kemarin aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Evan bisa bersenang-senang dengan cewek lain!! Batinku.

“Sebenernya apa yang bikin lo berpikir kalau Evan udah lupa sama lo??” tanyannya.

Aku memandang Diana yang menunggu jawabannku. Aku lalu menjelaskan semuanya padanya. Tentang apa yang aku lihat. Evan yang dengan senangnya becanda dengan Nina dan tertawa waktu itu. padahal kami sedang memiliki masalah. Bahkan selama seminggu Evan tidak pernah memintaku untuk berbaikkan lagi seperti sebelumnya. Apalagi kalau dia tidak melupakanku?

Setelah aku selesai menjelaskan semuanya Diana justru tertawa. “jadi ini yang bikin lo sakit dan enggak mau makan?” tanyanya di sela-sela tawanya.

Aku menatap Diana dengan cemberut. “kenapa lo ketawa? Bukannya udah jelas, masa Cuma waktu seminggu dia bisa deket sama Nina..” kataku kesal.

Diana berhenti tertawa melihat wajah cemberutku. “iya deh, maaf. kenapa lo bisa berpikiran kayak gitu.? Kan apa yang lo liat belum tentu kebenarannya, vi. Mungkin mereka Cuma sekedar ngobrol biasa..”

Aku tetap bersikeras kalau apa yang kulihat kemarin antara Evan dan Nina bukan sekedar ngobrol biasa.

“Tapi.. mereka keliatan akrab banget.”

“lo udah sehat belum??’ tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk pelan. “kenapa?”

“sekarang lo ganti baju terus ikut gue..” ujarnya dan langsung menarikku turun dari ranjangku dan menyeretku masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil beberapa pakaian dari lemariku.

--- ---- ---- ---- ---- ---

Diana membawaku ke sebuah perkampungan kumuh. Sampah-sampah bertebaran dimana-dimana. Baunya juga sangat menusuk. Aku sangat jijik melihat keadaan tempat ini. buat apa Diana membawaku kemari?. Untuk berjalan saja sulit Karena banyaknya tumpukan sampah. Jujur, aku sangat tidak tahan. Perutku terasa mual. Tapi aku menahannya dan tetap ikut kemana Diana membawaku.

“na, ngapain lo bawa gue kemari..” tanyaku sambil menutup hidungku dengan sapu tangan.

“Udah deh.. ikut aja. Bentar lagi nyampe… “ sahutnya. “Nah.. itu dia..” Diana tiba-tiba berhenti berjalan dan menunjuk kearah sesuatu yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Terlihat di tempat itu sekumpulan anak yang berpakaian kumuh sedang diajarkan membaca. Mereka pasti anak-anak jalanan dan pemulung. Mereka telihat sangat senang dan tertawa lepas. Aku melupakan semua bau sampah-sampah ini yang sejak tadi membuatku mual. Aku lalu mengalihkan pandanganku pada seorang cowok yang mengajar mereka. Evan. Apa ini yang membuatnya selalu sibuk sehingga ia sering telat.

Aku memandang Diana dengan penuh tanya.

“Iya.. Evan mengajar anak-anak jalanan dan pemulung di sini setelah pulang sekolah. Selain mengajar mereka. Harus lo tahu, Evan juga kerja part time tiap hari sabtu dan minggu untuk menambah alat-alat belajar mereka. Seperti buku, dan alat-alat tulis untuk mereka. juga untuk menambah uang saku mereka. Evan selalu pulang malam, tapi di rumah dia tidak langsung istirahat tapi justru belajar untuk ujian nanti. Makannya dia selalu ngaret” Jelas Diana.

Tunggu. Dari mana Diana tau semuanya?

Seperti tahu apa yang ada di otakku Diana menlanjutkan penjelasannya. “Lo pasti bertanya-tanya dari mana gue tahu semuanya. Gue juga kaget. Dua hari yang lalu gue sengaja ngikutin Evan pas pulang sekolah. Ternyata dia pergi ke sini. terus gue samperin deh, dan dia cerita semuanya sama gue..”

Benarkah?? Aku merasa malu dengan diriku. Aku benar-benar tidak menyangka Evan seperti ini. aku sudah salah sangka terhadapnya. Aku merasa bersalah.

“EVAN..EVAN!! “ pekik Diana sambil melambai-lambaikan tangannya.

Evan berhenti mengajar dan menolehkan kepalanya memandang kea rah kami. Ia menyunggingkan senyuman kepada Diana. Lalu beralih memandangku. Aku hanya terdiam menatapnya.

----- ------ ------ ------ ------ ------

“bukannya lo masih sakit??” pertanyaan Evan memcahkan keheningan di antara kami.

“T-tau dari mana kalau gue sakit??”

Evan tertawa kecil, “Diana. Dia bilang setelah lo kemarin ngomong sama gue, lo tiba-tiba sakit dan enggak mau makan..”

Hah? Ya ampun. Apa yang harus kukatakan?.

“kenapa diam.? Enggak perlu malu sama gue..” katanya tiba-tiba yang membuatku pipiku terasa panas. Aku berharap wajahku saat ini tidak merah seperti kepiting rebus. Pasti sangat konyol.

“Ma-maafin gue, van. Seharusnya gue denger semua penjelasan lo dulu. Gue engga tahu lo rela kerja part time tiap hari sabtu-minggu Cuma untuk menambah alat-alat tulis buat mereka. Setiap pulang sekolah lo juga menyempatkan diri buat datang ke sini. bahkan lo juga masih sempetnya belajar. ” Ujarku

Aku memandang Evan yang ternyata tengah memandangiku juga. Sebuah senyum tersembul dari wajahnya. “maaf karena gue enggak cerita masalah ini sama lo..”

“kenapa lo enggak minta bantuan sama om dan tante, bukannya mereka cukup mampu.”

“gue enggak mau membebani orang tua gue untuk kegiatan di luar sekolah. Gue hanya ingin hidup mandiri. Melihat keadaan mereka membuat kita belajar tentang kerasnya kehidupan di dunia yang sebenarnya. Kita juga menyadari bahwa betapa beruntungnya kita yang bisa hidup tenang tanpa harus memikirkan masalah uang. Melihat mereka tertawa lepas setiap kali mengajar membuat gue senang.”

Aku terkesiap mendengar perkataan Evan. Apakah dia benar-benar Evan yang kukenal? Kenapa dia berbeda dari ‘si mister ngaret’ yang selama ini menjadi pacarku? Dua tahun kami berpacaran, tapi baru kali ini aku melihat Evan begitu dewasa.

“Jadi,, kenapa waktu itu lo enggak nyamperin gue dan ngomong semuanya..”

“eh itu.. gue..”

“gue sama Nina enggak ada apa-apa kok.. waktu itu gue Cuma ngajak dia untuk ikut mengajar anak-anak yang kurang mampu dan juga menggantikan gue karena sebentar lagi kita harus ujian dan gue harus focus sama pelajaran. Yah,, karena memang dia sendiri yang menawarkan dirinya…” sela Evan.

Pasti Diana yang memberitahunya lagi. Aku memandang Evan dengan tatapan penuh tanya.

“sebelum datang ke sini Diana telpon gue dan cerita semuanya. Terus dia ngomong juga mau bawa lo kesini,,,” jelasnya. Evan lalu meraih tanganku dan menggengamnya. Hangat. “Dan.. gue juga masih sayang sama lo. Gue enggak pernah ngelupain lo sedetikpun karena Vivian adalah pacar Evan sampai kapanpun..” katanya lembut.

Aku tertawa mendengar gombalannya. Tapi aku senang. Air mataku menetes lagi. Tapi kali ini adalah air mata bahagia. Hatiku lega.

Darinya aku bisa belajar sesuatu. Aku sadar, memiliki Evan adalah kesalahan yang tidak akan pernah aku sesali. Meskipun dia ‘mister ngaret’. hehe. Tapi MISTER NGARET, I LOVE YOU!!!

Karena Tuhan Sayang [Cerpen]

[ps: biapun jelek tapi kumohon jangan copas dan mengakui cerpen buatan ku chingu.. gamsa ^^]

Karena tuhan sayang,…


Namanya Ayunda. Dia teman karibku. Kami bersahabat hampir 2 tahun. Kami satu sekolah. Saat ini kami sama-sama kelas 2 SMA. Dia adalah teman terbaikku yang pernah kumiliki. Aku sangat menyanginya.

Ayunda memiliki wajah yang cantik di balik jilbab yang selalu ia kenakan. Selain wajahnya yang cantik, hatinya juga demikian. Ia baik terhadap setiap orang. Ramah dan juga sangat penyabar. Berbanding terbalik denganku. Aku tidak sabaran dan tidak pernah bisa menahan emosiku.

Ia sosok wanita yang shaleha. Aku kagum dengannya. Di saat remaja-remaja masa kini mulai berlomba-lomba mencari pacar atau mengurusi penampilan mengikuti trend-trend yang up to date. Dia justru tidak terpengaruh dan tetap berpegang pada pendirian agamanya.

Pernah aku bertanya padanya, kenapa dia tidak mencari pacar. Padahal masa SMA tidak akan menyenangkan tampa adanya cerita cinta didalamnya. Dia menjawab.

“Belum waktunya, put. Dengan menghabiskan masa remajaku untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat aku juga bisa menikmati masa remajaku. Lagipula, bukankah tidak di wajibkan dalam islam untuk berpacaran. ?”

Begitulah jawabnya. Padahal cukup banyak cowok-cowok yang berusaha mendekati Ayunda. Tapi mereka hanya akan mendapat tolakkan halus dari Ayunda. Ya, Ayunda akan menolak mereka secara halus dan mereka mengerti dan dengan sendirinya akan menjauh dari ayunda.

--------

Jam istirahat Ayunda selalu menyendiri sembari membaca buku duduk di bangku halaman sekolah. Aku menghampirinya dan langsung duduk di sampingnya.

“Lagi baca buku apa yu??” tanyaku.

Ayunda menunjukan buku yang dibacanya, “Perempuan dan islam. Mau baca? Ini buku bagus lho..” katanya dengan wajah sumringah.

Aku langsung bergeming. “apa enggak berat tuh bacaan? Mending baca komik..”

Ayunda hanya tersenyum kecil, “Sekali-kali kamu harus baca lho buku tentang islam. Sama serunya kok kayak baca komik. Banyak juga ilmu yang didapat…”

Aku terkekeh pelan, “kamu kan tau kerja otakku lama. Enggak kayak kamu. Kalau di kasih bacaan berat otakku pasti korslet..”

Ayunda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Oh ya.. putri. Kalau kamu pakai jilbab pasti kamu keliatan cantik..”

“hah? Aku rasa aku belum pantas mengenakan jilbab. Kamu kan tahu kelakuan dan sikapku masih belum baik. sholat aja masih bolong-bolong,,”

Ayunda tersenyum simpul. “Bukankah bisa mulai dengan memakainya? Aku sangat berharap kamu bisa mengenakan jilbab. Tentu aku tidak memaksa. Karena semua harus di mulai dari hatimu dan niat. Tentunya juga harus dengan ikhlas agar menjadi berkah…”

Aku hanya terdiam. Bukan hanya satu kali Ayunda mengatakan hal ini padaku. kadang terbesit dalam pikiranku untuk mengenakan jilbab. Tapi bukankah percuma saja kalau aku belum benar-benar ikhlas dari hati.

________

Sudah seminggu ayunda tidak masuk ke sekolah. Tidak ada kabar darinya. Teman sekelasnya juga tidak ada yang tahu kemana Ayunda. Aku mulai khawatir. Aku sudah menghubungi ponselnya dan mengiriminya pesan tapi tidak juga dijawabnya.

Saat aku kunjungi rumahnya, Ayunda tidak ada dirumahnya. kata pembantu di rumah Ayunda. Semua orang sedang berada di rumah sakit. Katanya kondisi Ayunda memburuk seminggu yang lalu hingga ia harus dirujuk ke rumah sakit.

Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Ada apa dengan kondisi ayunda sampai ia harus di rujuk ke rumah sakit?

Kabar yang kuterima dari Bi ndah- pembantu rumah tangga keluarganya. Ayunda sejak kecil memiliki penyakit yang sangat kronis. Dan betapa terkejutnya saat aku tahu Ayunda ternyata menderita kangker hati stadium akhir.

Kenapa ayunda tidak pernah menceritakan tentang hal ini? bukankah kami bersahabat? Aku tidak percaya dengan semua ini. setelah mendengar berita ini aku langsung pergi ke Rumah sakit tempat Ayunda di rawat.

----------

Aku memandang tubuh Ayunda yang terkapar tidak berdaya dengan selang pernafasan di wajahnya. Wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya juga kurus. Jilbab putih-nya masih tetap dikenakannya.

Aku tidak percaya seseorang yang terbaring di atas ranjang itu adalah Ayunda- sahabatku. Ayunda tidak pernah menunjukan rasa sakitnya saat bersamaku. Ia selalu terlihat baik-baik saja. Dia tidak pernah mengeluh sakit atau apapun. Walau kenyataannya ia menderita sebuah penyakit yang amat mematikan.

Seminggu yang lalu. Kondisi tubuh Ayunda drop. Selesai sholat subuh, ayunda mengeluh dadanya sakit. Ia batuk-batuk hebat sampai mengeluarkan darah. Hingga akhirnya ia pingsan dan koma sampai sekarang, begitulah yang dikatakan ibunya saat aku tiba di rumah sakit.

Mataku mulai terasa panas. Aku hampir meneteskan air mataku kalau saja Ibu Aisyah ibunda Ayunda tidak masuk dan membawaku keluar dari ruang inap tempat Ayunda di rawat.

Diluar, aku menanyakan tentang penyakit yang diderita Ayunda kepada Ibu Aisyah.

“Bu, dari kapan Ayunda punya penyakit ini? aku melihat dia baik-baik saja..” tanyaku.

Ibu Aisyah berkata dengan suara lirih “Sejak ayunda berumur 10 tahun. Waktu itu dia di vonis dokter menderita kangker hati stadium akhir dan dokter memperkirakan umurnya tidak lama lagi. Tapi tidak ada manusia yang bisa mengetahui umur seseorang.. subhanallah.. tuhan masih memberinya umur hingga kini..”

“Kenapa Ayunda tidak pernah bilang tentang ini sama Putri.”

Ibu aisyah tersenyum padaku dan berkata, “Dia selalu bilang, dia tidak pernah sakit dan selalu menganggap dirinya sehat. Jadi dia tidak mau bilang kepada siapapun tentang penyakitnya dan membuatnya di perlakukan berbeda dari yang lain karena penyakitnya”

Hatiku terasa sesak. Aku sangat sedih mendengar kabar ini. hatiku miris. Sahabatku tercinta saat ini terkapar tidak sadarkan diri dengan penyakit ganas yang bersemayam di tubuhnya.

--------- ---------- ----------- -----------

Hari ini hari minggu. Aku menggunakan kesempatan ini untuk menjenguk Ayunda di rumah sakit. Sudah dua hari setelah aku tahu tentang penyakitnya. Aku membawa beberapa makanan yang dibuat oleh mama untuk keluaga Ayunda yang ada dirumah sakit.

Di depan ruang inap Ayunda, langkahku tertahan ketika aku hendak membuka pintu. Aku menggenggam gagang pintu yang terasa sangat dingin itu. mataku tidak sanggup menahan air mata yang menyeruak keluar saat menyaksikan pemandangan ini. Ibu Aisyah memandang putrinya dengan tatapan nanar. Sepertnya Ibu aisyah sedang berusaha berbicara dengan Ayunda. Aku tidak mendengar apa yang di katakannya. Ia lalu memeluk putrinya dan menangis tersedu-sedu.

Aku tahu. Selama ini Ibu Aisyah selalu berusaha tegar di depan Ayunda. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan putri semata wayangnya. Tapi saat ini emosinya pasti tidak bisa lagi di tahan. Aku tidak tahu jelas bagaimana perasaanya. Tapi seorang ibu mana yang tidak miris melihat kondisi anaknya seperti ini.

Aku membiarkan Ibu Aisyah menangis di dalam dan memilih untuk pergi. Aku berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang legang. Langkahku sedikit gontai.

Kenapa tuhan harus memberikan cobaan yang berat kepada orang sebaik Ayunda. Kenapa ia harus memberikan penyakit ganas ini mengrogoti tubuh Ayunda. Kenapa Tuhan begitu tidak adil..

Air mataku mulai mengalir membasahi pipiku.

-------- -------- -------- ----------

Aku langsung melesat menuju Rumah sakit setelah menerima panggilan Telpon dari Ibu Aisyah. Dia bilang, Ayunda sudah siuman. Ya, setelah 2 minggu dia koma akhirnya dia kembali sadarkan diri. Tidak dapat kugambarkan bagaimana perasaanku. Pulang sekolah aku langsung menuju rumah sakit.

Di rumah sakit aku di sambut dengan senyuman Ibu aisyah. Aku membalasnya dengan senyuman pula. Bisa kulihat raut bahagia dari wajah Bu Aisyah, tapi aku tahu hatinya masih gundah.

“Put.. dari tadi Ayunda nanyain kamu. Dia ingin bicara sama kamu.” Ujar Bu Aisyah.

Aku mengangguk pelan dan langsung masuk ke dalam. Aku berjalan menghampiri Ayunda. Ia melemparkan senyumnya padaku. seperti biasa.

“kamu datang, put.” Katanya lemah. Tidak jelas kudengar tapi aku tahu dari gerak bibirnya.

Aku mengangguk pelan.

“aku ,,kangen sama kamu put.” ujarnya dengan nafas berat.

“Aku juga. gimana keadaan kamu. Sudah baikkan..??” tanyaku.

Ia mengangguk pelan dan berkata, “iya. Aku ngerasa baik. Maaf ya aku enggak pernah bilang hal ini sama kamu.”

Aku menggeleng pelan, “enggak apa-apa. Sebaiknnya kamu jangan banyak bicara. Kamu harus istirahat supaya cepat pulih.”

Ayunda tersenyum. Ia lalu menggenggam tanganku. Aku memandangnya dengan penuh tanya.

“Terima kasih”

Aku mengerutkan dahiku. “untuk?”

“karena menjadi sahabatku dan mengkhawatirkan aku..”

Entah kenapa hatiku tidak tenang mendengar Ayunda berkata seperti itu. perasaanku aneh. Tiba-tiba aku merasa takut.

“Aku ikhlas, kamu juga harus Ikhlas yah put.. ” katanya lagi. Nafasnya terdengar semakin sulit.

Aku mengerutkan keningku. Perasaanku semakin resah. Aku berharap apa yang saat ini kupikirkan hanya perasaanku saja. Aku mohon..

“Aku capek put. Kamu sebaiknya pulang, lihat kamu masih pakai seragam sekolah. Aku juga kangen banget masuk sekolah. Kamu pulang terus istirahat.”

“iya.. karena itu kamu harus banyak istirahat supaya kamu bisa kembali ke sekolah. Teman-teman juga sangat berharap kamu cepat masuk sekolah. Aku akan pulang kok, tapi setelah kamu tidur..”

Ayunda mengangguk pelan. Perlahan ia memejamkan matanya. aku tidak langsung beranjak pergi. Aku termenung memandangi wajah Ayunda yang sedang terlelap . Aku merasa wajah ayunda terlihat sangat tenang dan damai. Benar-benar damai.

Cukup lama aku terdiam di sana. Hingga akhirnya aku berbalik pergi. Di ambang pintu aku kembali menoleh ke arah Ayunda. Setitik air mata mengalir dari ujung mataku.

“Aku ikhlas, Yu. “ gumamku pelan.

Ya .. aku ikhlas. Aku merelakan Ayunda pergi.

---- ----- ----- ------

Hari itu adalah hari terakhirnya. Ya.. hari itu ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Saat aku berbalik pergi meninggalkannya. Kondisinya kembali memburuk dan saat itu tidak bisa lagi di selamatkan. Aku tidak menangis. Aku menahannya semampuku.

Aku memandang layar laptopku dengan tatapan kosong. Sebuah foto dan tulisan itu kubaca dan kupandangi berualang kali.

Mataku mulai panas dan air mataku perlahan jatuh. “Untuk kali ini saja..aku tidak bisa menahannya.. ” gumamku.

Saat aku sampai dirumah. Aku langsung menyalakan laptop-ku dan ternyata aku mendapat email dari seseorang. Ayunda. Ya.. dia pengirimnya.

Aku membuka emailnya dengan perasaan takut. Tanganku gemetar.

To : Putri

Assalamuallaikum..

Kusempatkan menulis email ini padamu. Tentu, Bunda yang membantuku menuliskannya. Karena aku tahu saat kau sampai di sini aku pasti tidak sanggup bicara lebih banyak.

Saat aku tidak sadarkan diri. aku bermimpi tengah berada di sebuah tempat. Tempat itu sangat indah. Sunyi, damai dan sangat tenang. Aku tidak merasakan rasa sakitku. Penyakitku hilang. Semua orang ramah dan selalu tersenyum padaku. mereka menyambutku dengan suka cita.

Aku tidak pernah menyesal pernah dilahirkan meskipun dengan penyakit ini.

Ya.. aku ikhlas. Aku menerima semuanya. Aku menganggap penyakit ini bukanlah sebuah beban. justru sebuah anugrah bagiku. Aku beruntung. Karena allah sayang padaku. ya.. semua ini Karena tuhan sayang padaku.

Aku ikhlaskan semuanya dan kuharapkan kamu juga ikhlas. Terima kasih karena telah menjadi sahabat baikku. Jangan menangis. Karena di sana, aku akan baik-baik saja. Dan,, aku masih tetap ingin melihatmu memakai jilbab.. hehe

Wassallam..

Ayunda.

Dan semenjak kepergian Ayunda aku mulai mengenakan jilbab. Terima kasih ayunda. Aku tidak akan sedih dengan kepergianmu. Semua hal yang terjadi padamu adalah karena tuhan sayang sama Ayunda.