MISTER NGARET!! i love you
Aku melirik jam tanganku lalu mendesah kesal. Oke. Sudah kesekian kalinya dia terlambat. Apa susahnya sih tepat waktu? Bukannya dia yang mengajakku nonton??
Aku mengitari pandangannku mengelilingi bioskop yang ramai oleh orang-orang. Tidak kutemukan sosoknya.
Akhirnya aku memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan membuang dua tiket nonton yang sudah kubeli dengan perasaan bahagia-awalnya- ke tong sampah dengan perasaan jengkel.
Gagal semua rencana malam mingguku bersamanya.. untuk kesekian kalinya. Ya, bukan hanya satu kali tapi terlalu sering. Mungkin aku bisa sabar tapi saat ini kesabaranku sudah sampai puncak. Kalau saja bukan karena aku sayang dengannya. Mungkin sejak awal sudah kuputuskan hubungan kita.
------- ------ ------ -----
Aku masuk ke dalam kelas dengan kesal. Aku membanting tasku di atas meja. Diana teman sebangku-ku langsung tersentak dan membulatkan kedua matanya yang sipit.
‘bikin kaget aja. Kenapa? Evan telat lagi kemarin?” tanya Diana langsung. Dia memang sudah bisa menebak hal yang membuatku uring-uringan plus jengkel bukan main pagi ini pasti karena ‘si mister ngaret evan’ itu.
Aku mengangguk. “Iya.. kapan sih tuh orang bisa berubah. Dasar mister ngaret!!!”
Diana terkekeh pelan, “kenapa enggak coba lo tanya sama dia..??”
Aku kembali memasang wajah cemberutku. “Udah sering, tapi si mister ngaret tuh bilangnya ya ketiduran, lupa,, de el el....”
“Liat aja.. gue pasti mutusin tuh orang. Gue udah enggak tahan sama kelakuannya..” kecamku.
Diana berkata sambil asik memainkan BB-nya., “lo mau putus sama evan? Yakin? Setiap kali lo kesel dibuatnya lo selalu bilang gitu… tapi ujung-ujungnya lo enggak pernah bisa putus sama Evan. Iya kan??”
Aku terdiam. Memang iya sih. Setiap kali aku ada masalah sama Evan, pasti aku selalu bilang engak tahan dengannya dan aku akan mutusin dia. Tapi nyatanya. Udah dua tahun aku tidak juga putus dengannya.
“abis… gue sayang sama dia..”
Diana tertawa lagi, “gue tau lo pasti bilang gitu. Udah deh. Kayak lo enggak kenal si mister Evan aja. Tuh.. sekarang aja dia belum keliatan batang idungnya. Padahal 2 menit lagi bel masuk..” Diana menunjuk kearah kursi kosong yang berada di pojok kanan depan. Itu adalah tempat duduk Evan. Memang evan dan aku sekelas.
Dan benar saja sampai bel tanda masuk, Evan belum juga datang. padahal hari ini pelajaran Kimia. Pak Budi guru super killer yang mengajar.
Dan tengg.. belum lama pak Budi masuk. Orang itu masuk ke dalam kelas dengan wajah tidak berdosa sama sekali. Pak Budi yang tidak suka muridnya datang telat saat pelajarannya tanpa banyak kata langsung mengisyratkan Evan keluar dai ruang kelas.
Aku hanya menghela nafas memandanginya. Sebenarnya kasihan. Tapi bodo amat. Dia pantas dihukum.
----- ---- ------- ------- -------
“Vivi.. gue minta maaf deh.. enggak akan gue ulangin lagi.. “ pintanya dengan tatapan memelas. Aku tidak memperduikannya dan tetap asik memakan Bakso-ku. Enggak akan lagi? Omong kosong!!
“Janji deh Vi,,” katanya lagi sambil mengacungkan dua jarinya berbentuk ‘V’
Aku tetap diam dan tidak mengacuhkannya.
“Vi…”
“ahh.. udah deh van. Bosen tau denger janji-janji lo yang enggak akan ngaret lagi. Pertama.. tiap kali lo ngajak nonton.. lo selalu datang telat. Kedua.. tiap kali lo mau nganterin gue kemana aja.. lo selalu dateng telat juga.. dan ketiga.. ke sekolahpun lo telat. Alesannya yah enggak ketiduran, kecapekan, lupa. Sebenernya lo itu ngapain sih??kemarin sabtu pun lo ngaret.. ” omelku panjang lebar. Aku lalu beranjak dari dudukku dan meninggalkan Evan.
Terdengar langkah kaki yang berlari ke arahku. Evan mengejarku dari belakang dan menarik lenganku.
“Vi.. gue punya alasan kenapa gue selalu ngaret.”
“apa?? Udah lah.. gue enggak mau tahu…” kataku keras. Aku lalu melepaskan tangan Evan dari pergelangan tanganku. “Mungkin… sebaiknya kita udahan aja..” Ucapku lagi, aku lalu membalikkan tubuhku dan berjalan pergi tapi evan menarikku lagi.
“Maksudnya??”
“Maksudnya kita putus,,”
Terlihat raut bingung di wajah Evan. “P-putus?”
Aku tidak menjawabnya dan pergi meninggalkan Evan. Mungkin seharusnya aku melakukan ini karena aku benar-benar tidak tahan dengan perilakunya yang tidak pernah tepat waktu. Aku sudah malas untuk merubah sikapnya itu.
----- ---- ----- ------ ------
Seminggu setelah aku bilang pada Evan untuk mengakhiri hubungan kami. Aku dan dia tidak pernah bicara lagi meskipun kami di satu kelas. Bahkan kami tidak pernah berani menatap mata satu sama lain.
Sebenarnya setelah hari itu aku menangisi semua yang kulakukan. Perkataan itu meluncur begitu saja dari mulutku. Mungkin karena aku emosi. Aku sangat menyesali perkataanku. Setelah kejadian itu juga aku berubah menjadi pendiam. Sikap Evan juga berubah. Setiap kami berpapasan dia selalu membuang mukanya. Apa dia marah karena sikapku??
Diana temanku yang sangat mengetahui bagaimana perasaanku selalu berusaha menghiburku.
“Vi.. lo masih setengah hati kan putus sama Evan??” tanyanya yang tiba-tiba duduk di sampingku saat aku termenung duduk sendiri di bawah pohon dekat lapangan bola sekolah ketika jam istirahat.
Aku tidak menjawabnya. Tapi aku tahu Diana pasti bisa membaca apa yang kurasakan dari raut wajahku.
“Kenapa enggak ngomong lagi sama Evan?”
Aku menggeleng. Terlambat. Evan tidak akan menerimaku lagi.
“Belum terlambat kalau lo belum coba..” kata Diana yang sepertinya bisa membaca apa yang aku pikirkan.
“tapi… gue takut Evan marah karena sikap gue. Bahkan gue enggak mau denger penjelasnya dulu dan langsung bilang sebaiknya kita udahin hubungan kita..” kataku dengan penuh penyesalan.
“Lo punya satu kesamaan. Sama-sama keras. Sampai kapanpun masalah enggak akan selesai kalau kalian enggak mau bicara satu sama lain.. hemm.”
Benar juga. Aku tidak benar-benar marah dengan Evan yang tukang ngaret. Hanya sedikit kesal. Tapi sekarang rasa kesalku sudah hilang. Aku juga sadar. Kalau aku masih sangat sayang dengannya. Aku juga kangen sama Evan.
Aku harus menemuinya dan membicarakan semuanya baik-baik.
----- ---- ----- ----- ------
Aku berjalan menuju kelasku. Aku berharap Evan berada di sana. hatiku berdebar. Aku takut Evan tidak mau bicara denganku lagi.
Aku melangkah masuk ke dalam kelas. Tapi tidak kutemukan sosok Evan di sana. kemana dia??
Aku bertanya pada salah satu temanku dan katanya Evan bilang dia mau ke perpus. Aku mengerutkan dahi. Tumben sekali. Apa dia berubah jadi rajin membaca setelah seminggu kita tidak pernah bicara? Pikirku.
Aku langsung berjalan menuju perpus. Tapi di tengah perjalanan langkahku terhenti karena aku menemukan sosok Evan sedang duduk di salah satu bangku di bawah pohon besar di halaman sekolah. Tapi ia tidak sendiri. Ia bersama seseorang. Orang itu adalah Nina. Anak kelas 11. Dia junior kami yang katanya menyukai Evan.
Apa selama seminggu mereka menjadi dekat?
Aku mulai berpikir macam-macam. Tapi aku segera menepisnya. Mungkin mereka hanya sekedar ngobrol biasa. Kataku pada diri sendiri.
Tapi aku menangkap sesuatu yang aneh di antara mereka. Tatapan mata Nina pada Evan berbeda. Mereka juga terlihat sangat akrab. Evan juga terlihat sangat senang dan mereka tertawa bersama dengan lepas. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyerang hatiku. nafasku sesak. Aku rasa aku cemburu melihat pemandangan ini.
Aku segera melangkah pergi. Aku rasa semua sudah benar-benar berakhir. Tidak ada harapan bagiku. Evan juga sepertinya sudah melupakanku. secepat itu kah? apa karena Nina?
Tanpa terasa cairan hangat menetes dari pelupuk mataku. Aku langsung menghapusnya dengan punggung tangan. Aku tidak boleh menangis.
----- ----- ----- ----- ------
“Vi.. gue masuk ya..” seru Diana dari luar kamarku. Ia lalu membuka pintu kamarku dan masuk ke dalam lalu duduk di pinggir ranjangku. Aku merubah posisi tidurku memunggunginya.
“Vi.. udah 2 hari lo sakit. Kata tante lo juga enggak mau makan terus ngurung diri mulu di kamar. Kita kan udah mau UN.. jadi lo harus jaga kesehatan. apa karena Evan??”
Aku hanya diam. Air mataku megalir lagi membasahi bantalku.
“Vivi.. kenapa lo jadi lemah begini sih? Hidup lo itu belum berakhir biarpun hubungan lo udah berakhir sama Evan. Sebenernya lo udah ngomong semuanya belum sama Evan?”
Aku bangun dari tidurku dan merubah posisiku setengah badan. Aku memeluk boneka hati pemberian Evan saat ulang tahunku tahun lalu dengan erat.
“Diana.. gue rasa hubungan gue dan Evan udah selesai.” Gumamku lirih.
Diana mengangkat sebelah alisnya, “heh? Apa Evan yang ngomong begitu kemarin??’
Aku menggelengkan kepalaku. “enggak.. tapi gue rasa dia emang udah lupa sama gue..”
“Vi.. ya enggak mungkin lah. Lo udah jadian sama dia 2 tahun gitu. Baru dua mingguan masa dia udah lupa sama lo..”
Tapi buktinya, kemarin aku melihat dengan mata kepalaku sendiri Evan bisa bersenang-senang dengan cewek lain!! Batinku.
“Sebenernya apa yang bikin lo berpikir kalau Evan udah lupa sama lo??” tanyannya.
Aku memandang Diana yang menunggu jawabannku. Aku lalu menjelaskan semuanya padanya. Tentang apa yang aku lihat. Evan yang dengan senangnya becanda dengan Nina dan tertawa waktu itu. padahal kami sedang memiliki masalah. Bahkan selama seminggu Evan tidak pernah memintaku untuk berbaikkan lagi seperti sebelumnya. Apalagi kalau dia tidak melupakanku?
Setelah aku selesai menjelaskan semuanya Diana justru tertawa. “jadi ini yang bikin lo sakit dan enggak mau makan?” tanyanya di sela-sela tawanya.
Aku menatap Diana dengan cemberut. “kenapa lo ketawa? Bukannya udah jelas, masa Cuma waktu seminggu dia bisa deket sama Nina..” kataku kesal.
Diana berhenti tertawa melihat wajah cemberutku. “iya deh, maaf. kenapa lo bisa berpikiran kayak gitu.? Kan apa yang lo liat belum tentu kebenarannya, vi. Mungkin mereka Cuma sekedar ngobrol biasa..”
Aku tetap bersikeras kalau apa yang kulihat kemarin antara Evan dan Nina bukan sekedar ngobrol biasa.
“Tapi.. mereka keliatan akrab banget.”
“lo udah sehat belum??’ tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk pelan. “kenapa?”
“sekarang lo ganti baju terus ikut gue..” ujarnya dan langsung menarikku turun dari ranjangku dan menyeretku masuk ke dalam kamar mandi setelah mengambil beberapa pakaian dari lemariku.
--- ---- ---- ---- ---- ---
Diana membawaku ke sebuah perkampungan kumuh. Sampah-sampah bertebaran dimana-dimana. Baunya juga sangat menusuk. Aku sangat jijik melihat keadaan tempat ini. buat apa Diana membawaku kemari?. Untuk berjalan saja sulit Karena banyaknya tumpukan sampah. Jujur, aku sangat tidak tahan. Perutku terasa mual. Tapi aku menahannya dan tetap ikut kemana Diana membawaku.
“na, ngapain lo bawa gue kemari..” tanyaku sambil menutup hidungku dengan sapu tangan.
“Udah deh.. ikut aja. Bentar lagi nyampe… “ sahutnya. “Nah.. itu dia..” Diana tiba-tiba berhenti berjalan dan menunjuk kearah sesuatu yang tidak jauh dari tempat kami berdiri.
Terlihat di tempat itu sekumpulan anak yang berpakaian kumuh sedang diajarkan membaca. Mereka pasti anak-anak jalanan dan pemulung. Mereka telihat sangat senang dan tertawa lepas. Aku melupakan semua bau sampah-sampah ini yang sejak tadi membuatku mual. Aku lalu mengalihkan pandanganku pada seorang cowok yang mengajar mereka. Evan. Apa ini yang membuatnya selalu sibuk sehingga ia sering telat.
Aku memandang Diana dengan penuh tanya.
“Iya.. Evan mengajar anak-anak jalanan dan pemulung di sini setelah pulang sekolah. Selain mengajar mereka. Harus lo tahu, Evan juga kerja part time tiap hari sabtu dan minggu untuk menambah alat-alat belajar mereka. Seperti buku, dan alat-alat tulis untuk mereka. juga untuk menambah uang saku mereka. Evan selalu pulang malam, tapi di rumah dia tidak langsung istirahat tapi justru belajar untuk ujian nanti. Makannya dia selalu ngaret” Jelas Diana.
Tunggu. Dari mana Diana tau semuanya?
Seperti tahu apa yang ada di otakku Diana menlanjutkan penjelasannya. “Lo pasti bertanya-tanya dari mana gue tahu semuanya. Gue juga kaget. Dua hari yang lalu gue sengaja ngikutin Evan pas pulang sekolah. Ternyata dia pergi ke sini. terus gue samperin deh, dan dia cerita semuanya sama gue..”
Benarkah?? Aku merasa malu dengan diriku. Aku benar-benar tidak menyangka Evan seperti ini. aku sudah salah sangka terhadapnya. Aku merasa bersalah.
“EVAN..EVAN!! “ pekik Diana sambil melambai-lambaikan tangannya.
Evan berhenti mengajar dan menolehkan kepalanya memandang kea rah kami. Ia menyunggingkan senyuman kepada Diana. Lalu beralih memandangku. Aku hanya terdiam menatapnya.
----- ------ ------ ------ ------ ------
“bukannya lo masih sakit??” pertanyaan Evan memcahkan keheningan di antara kami.
“T-tau dari mana kalau gue sakit??”
Evan tertawa kecil, “Diana. Dia bilang setelah lo kemarin ngomong sama gue, lo tiba-tiba sakit dan enggak mau makan..”
Hah? Ya ampun. Apa yang harus kukatakan?.
“kenapa diam.? Enggak perlu malu sama gue..” katanya tiba-tiba yang membuatku pipiku terasa panas. Aku berharap wajahku saat ini tidak merah seperti kepiting rebus. Pasti sangat konyol.
“Ma-maafin gue, van. Seharusnya gue denger semua penjelasan lo dulu. Gue engga tahu lo rela kerja part time tiap hari sabtu-minggu Cuma untuk menambah alat-alat tulis buat mereka. Setiap pulang sekolah lo juga menyempatkan diri buat datang ke sini. bahkan lo juga masih sempetnya belajar. ” Ujarku
Aku memandang Evan yang ternyata tengah memandangiku juga. Sebuah senyum tersembul dari wajahnya. “maaf karena gue enggak cerita masalah ini sama lo..”
“kenapa lo enggak minta bantuan sama om dan tante, bukannya mereka cukup mampu.”
“gue enggak mau membebani orang tua gue untuk kegiatan di luar sekolah. Gue hanya ingin hidup mandiri. Melihat keadaan mereka membuat kita belajar tentang kerasnya kehidupan di dunia yang sebenarnya. Kita juga menyadari bahwa betapa beruntungnya kita yang bisa hidup tenang tanpa harus memikirkan masalah uang. Melihat mereka tertawa lepas setiap kali mengajar membuat gue senang.”
Aku terkesiap mendengar perkataan Evan. Apakah dia benar-benar Evan yang kukenal? Kenapa dia berbeda dari ‘si mister ngaret’ yang selama ini menjadi pacarku? Dua tahun kami berpacaran, tapi baru kali ini aku melihat Evan begitu dewasa.
“Jadi,, kenapa waktu itu lo enggak nyamperin gue dan ngomong semuanya..”
“eh itu.. gue..”
“gue sama Nina enggak ada apa-apa kok.. waktu itu gue Cuma ngajak dia untuk ikut mengajar anak-anak yang kurang mampu dan juga menggantikan gue karena sebentar lagi kita harus ujian dan gue harus focus sama pelajaran. Yah,, karena memang dia sendiri yang menawarkan dirinya…” sela Evan.
Pasti Diana yang memberitahunya lagi. Aku memandang Evan dengan tatapan penuh tanya.
“sebelum datang ke sini Diana telpon gue dan cerita semuanya. Terus dia ngomong juga mau bawa lo kesini,,,” jelasnya. Evan lalu meraih tanganku dan menggengamnya. Hangat. “Dan.. gue juga masih sayang sama lo. Gue enggak pernah ngelupain lo sedetikpun karena Vivian adalah pacar Evan sampai kapanpun..” katanya lembut.
Aku tertawa mendengar gombalannya. Tapi aku senang. Air mataku menetes lagi. Tapi kali ini adalah air mata bahagia. Hatiku lega.
Darinya aku bisa belajar sesuatu. Aku sadar, memiliki Evan adalah kesalahan yang tidak akan pernah aku sesali. Meskipun dia ‘mister ngaret’. hehe. Tapi MISTER NGARET, I LOVE YOU!!!