Jumat, 29 Juni 2012

Destiny (CERPEN)


iDESTINY


Harusnya aku sadar, hati ini begitu perih. Aku tahu sejak awal perasaan ini akan menyakiti dan menyiksa diriku sendiri. Tapi aku mencintainya begitu dalam, bahkan rasa sakit ini begitu tidak berarti selama hati ini mencintainya.

“kalau kamu enggak mau aku datang padamu.., hiduplah bahagia. Hiduplah dengan senang, jangan pernah menangis. Ketika kamu mendapatkan kesulitan aku akan tahu, dan aku akan datang saat itu juga.. jadi hiduplah bahagia Reva.”
Reva tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia tidak bisa memungkiri hati ini tergores begitu perih. Tuhan, mengapa tidak kau ambil nyawaku saat ini juga. Itulah doa yang  Reva ucapkan dalam hatinya.
Bibirnya kelu. Air mata semakin deras membasahi pipinya.
Tapi, laki-laki itu justru tersenyum. Senyum khas yang selalu ia perlihatkan. Dengan lembut tangannya meraih lengan Reva, manariknya mendekat perlahan.
 Dalam diam, ia mengusap air mata dari wajah Reva menggunakan tangannya yang lain, sementara tangannya yang satu masih erat menggenggam lengan Reva.
“udah  aku bilang, kamu  jelek kalau nangis..”
Reva mendengus, ia mengakat tangannya hendak memukul seperti biasa ketika laki-laki itu mulai mengejeknya. Tapi secepat kilat, Navi mencengkram lengannya dan menarik Reva dalam pelukan.
“Na..navi..” Reva tidak bisa berkata apapun. ia terkejut namun, ia  tidak berusaha untuk  lepas dari pelukan ini. entah mengapa, pelukan ini begitu nyaman.
“tahu gak.. aku selalu ingin seperti ini.” katanya pelan dengan nada berbisik.  Hembusan nafasnya terdengar jelas di telinga Reva.
Ia terdiam sejenak. “aku selalu ingin memelukmu seperti ini ..” lanjutnya.
“tapi sekarang.. aku akan melepas semuanya.”
“aku akan menyerah pada kenyataan.. menjilat ludahku sendiri  karena  aku akan melepaskan semuanya.. dan juga kamu..” lanjutnya.
Reva tertegun. Saat ini ia berharap bahwa pendengarannya salah.
Navi menyerah pada kenyataan, dan.. melepaskannya.
Dadanya mendadak terasa berat bagaikan batu besar menimpanya. Ia sulit bernafas. Air mata kembali meluncur dari pelupuk matanya.
Perlahan navi melepaskan pelukannya dan masih tetap  tersenyum.
“tenang aja. Aku akan melepaskan kamu  dengan senyum.. dan yang pasti tetap  cool “ ucapnya.
Reva memandang laki-laki dihadapannya. Seorang yang mencintainya dengan tulus, selalu ada bersamanya, selalu membantunya dan berkata bahwa ia tidak akan menyerah.
Kini ia melepaskan semuanya, menyerah pada kenyataan.
Dan.. Hati Reva perih menerimanya, bahwa ia juga harus menerima laki-laki itu kini memilih untuk pergi darinya.
“aku pergi.. Cuma itu yang mau aku bicarakan sama kamu.. Kamu sebaiknya pulang,.sudah malam “ Navi melepaskan genggamannya dan membalikkan tubuhnya lalu berjalan pergi. Hanya itu kalimat terakhir yang ia ucapkan.
Reva memandang pundak Navi yang berjalan semakin jauh. Angin malam berhembus membelai wajahnya yang bercucuran air mata.
Sakit? Kenapa hati ini begitu sakit?


Navi berbalik meninggalkan Reva yang masih mematung disana. Sebenarnya ia ingin lebih lama disana, memeluknya dan memandang wajahnya. Tapi,  Jika ia terlalu lama disana, ia takut ia tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia takut hati ini semakin berat untuk beranjak dari gadis itu.
Navi menarik nafas dalam-dalam tapi  rasa sesak ini tidak juga hilang. Hatinya pilu. Sangat pilu.
Tapi mendadak kakinya berhenti melangkah. Ia kemudian membalikkan tubuhnya. dan tanpa sadar, kakinya berjalan membawa tubuhnya kembali menuju tempat tadi.  Navi melangkah dengan cepat dan mulai berlari. Hati kecilnya berharap gadis itu masih berdiri disana.
Tapi. Nihil. Navi mengatur nafasnya yang terengah-engah karena berlari.
Apa ini akhirnya? Apa ini ending dari semua pengorbanan yang navi berikan?


Reva tidak bisa menghentikan tangisannya. Ia bersusah payah menahan air matanya sepanjang jalan pulang ke rumah agar tidak menarik perhatian orang. Rasanya tidak nyaman menahan tangis. Dan sekarang  tangisnya pecah.
Terngiang kembali perkataan Navi yang tadi. Semakin mengingatnya hatinya semakin sakit.
Kenapa ia harus merasakan sakit kalau memang hatinya bukan untuk Navi?
demi tuhan ini menyiksa.
 Di tengah-tengah tangisnya, ponselnya berbunyi.  Reva tidak menghiraukan dering ponselnya yang meraung-raung minta diangkat. Ia tetap terdiam dalam lamunan dan tangisnya. Beberapa kali ponselnya berdering tapi pada akhirnya berhenti.
“maaf daniel.. “ gumamnya pelan.


Daniel menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. Ia mulai putus asa menghubungi Reva. Sejak tadi gadis itu tidak membalas sms, bbm, dan mengangkat telponnya. Ia khawatir terjadi sesuatu pada gadis itu.  Entah berapa banyak sms dan bbm yang ia kirim dan berapa kali ia mencoba menghubungi gadis itu. Tidak ada satupun balasan.
Daniel menghela nafas dan menghembuskannya lagi. Pikiran aneh mulai merasuk kepalanya.
Ia kemudian kembali mencari nama gadis itu pada daftar nomor ponselnya, namun ketika ia hendak menekan tombol hijau sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
Ia mengerutkan dahi membaca nama yang tertera pada layar ponselnya.
“halo..”
“hey bro.. would you accompany me tonight?” seru seseorang dari ujung sana.
“Navi.. ?”
“ayo... untuk kali ini. bagaimana kalau kita tanding basket. ?”
Daniel nampak berpikir sejenak, tapi akhirnya ia menyetujui “oke..”
“okey.. gue tunggu di lapangan basket tempat biasa.” katanya lagi.
Daniel mengiyakan, dan memutuskan sambungannya. Ia menghela nafas. Ada apa dengan bocah itu? Mendadak bersikap seperti ini.
Daniel bertanya-tanya dalam hati.


“yeah..  masuk!!” Navi bersorak menang.
Sudah kesekian kali bola yang dipegangnya masuk kedalam ring basket dengan sempurna.
Daniel mencibirnya, “hey. Jangan sombong dulu,.”
Navi hanya menyeringai, “haha. Ayo kalahkan gue kalau lo bisa..”
Daniel tersenyum tipis, “as you wish bro,,” ia langsung berlari dan merebut bola basket itu dari tangan Navi yang belum bersiap dan menggiringnya masuk ke dalam ring. Tapi sayangnya bola itu meleset.
“shit..!”
Navi tertawa penuh kemenangan. Ia menepuk pundak daniel, “as you wish? Haha anda terlalu percaya diri bung..”
Daniel hanya diam. Kemampuan bermain basketnya memang tidak pernah melampaui Navi. Ia tidak bisa, lebih tepatnya belum bisa mengalahkan bocah sombong itu.
Mereka kemudian duduk di tengah lapangan dalam hening. Langit malam ini mendung dan tidak ada bintang. Navi menyodorkan sebotol minuman isotonik kepada Daniel.
“Thanks..” ucapnya. “kali ini gue kalah sama lo.. tapi lain kali gue pasti bisa ngilangi senyuman sok cool itu..” katanya dengan penuh percaya diri,
Navi hanya tertawa pelan. “jangan mimpi.. “.
Hening sejenak.
“tapi.. untuk kali ini gue merasa kalah dari lo.” Ujar Navi tiba-tiba dan memecahkan keheningan.
Daniel menoleh dengan tatapan penuh tanya.
“gue gagal untuk Reva.. dan gue kalah sama lo..” sambungnya dengan tatapan masih mengarah ke depan.
Daniel tetap diam tanpa berkomentar.
“dan gue.. memilih pergi. Bukan karena takut, tapi karena kenyataan yang membuat gue harus mengambil jalan ini” Tambahnya.
Kali ini daniel membuka mulutnya, “lo yakin enggak akan nyesel untuk keputusan lo?”
Navi tertawa, tawa yang terdengar dipaksakan. “mungkin gue akan nyesel, tapi buat gue.. hati Reva lebih penting. Gue enggak mau jadi penghalang dia.”
Navi menghela nafas, “besok pagi.. gue pergi. Nyokap minta gue untuk kesana. Kondisinya  sekarang berangsur membaik dan gue mau berada disisi bokap gw sekarang .. “
Daniel menepuk pundak sahabatnya itu, “lo akan medapatkan kebahagian yang jauh lebih banyak Vi..”
“jangan buat dia nangis kalau lo gak mau gw pulang dan ngasih lo pelajaran.. “
“jangan khawatir.. gue enggak akan membiarkan apapun melukainya.”
Mereka pun tertawa. Tapi dibalik tawa itu, sebuah hati mengalami kesakitan yang sangat pilu.


Reva menyusuri koridor  sekolah dengan lemas. Tubuhnya seakan melayang setiap kali ia melangkahkan kaki. Mungkin ia terlalu lelah karena menangis semalaman dan tidak bisa tidur karena hatinya tidak tenang.
Ia membenarkan posisi kacamatanya. Matanya sembab. Ia takut terlihat oleh teman-temannya. Kalau temannya tahu, mereka pasti akan melayangkan banyak pertanyaan dan semua itu hanya membuat Reva mengingat semuanya. Ia takut air matanya tidak bisa ditahan.
“reva.. “ sebuah suara yang sudah tidak asing ditelinga menyerukan namanya dari belakang.
Reva menoleh dan melihat Daniel tengah berlari pelan menghampirinya.
“kamu kemana aja, ? tadi aku ke kelas tapi kamu enggak ada..?” tanyanya langsung.
“emm.. aku mau ke perpus. Mau nyari beberapa buku buat bahan belajar. Ada apa kamu mencari aku?”
Daniel tersenyum, “Aku mau ngajak kamu makan  di kantin. Tapi kalau kamu sibuk ya enggak apa-apa..”
Reva mengangguk pelan. “sebenarnya aku bisa nyari buku-buku ini nanti...”
Mereka pun berjalan menuju kantin.
“reva kamu mau makan apa?” tanya daniel.
“aku enggak nafsu makan.. aku hanya ingin memesan minuman.” Sahut Reva.
Daniel hanya mengangguk pelan dan memesankan Reva segelas jus jeruk. Mereka lalu mengambil tempat duduk di meja paling luar karena hanya itu yang kosong.
Reva duduk terdiam dan memandang ke arah lapangan basket. Ingatan tentang Navi kembali mencuat. Biasanya ia sering melihat Navi bermain basket dari tempat duduk ini. tempat ini adalah tempat biasa dia dan teman-temannya duduk tiap ke kantin dan dari sini mereka sering menyaksikan anak-anak bermain basket setiap jam istirahat.
Tanpa sadar matanya mencari-cari sosok itu. Tapi dia tidak ada. Kemana dia. Pikir Reva.
Daniel mengikuti kemana arah mata Reva tertuju. ia tersenyum kecil. “kamu ngeliatin apa Va?”
“hah.. ? itu.. enggak bukan apa-apa..” jawabnya pendek.
“kamu nyari Navi?” tebaknya.
Reva menggelengkan kepalanya cepat, “enggak. Bukan kok..”  
“kemarin.. aku menghubungi kamu, tapi kamu enggak ada kabar. Aku khawatir. Tapi setelah melihat kamu tadi aku senang kamu baik-baik aja..”
Reva memaksakan seulas senyum, “maafin aku niel.. kamu pasti khawatir sama aku.”
“aku enggak tahu kamu kenapa.. tapi yang penting kamu baik-baik aja aku sudah senang kok..”
Reva hanya membalas ucapan Daniel dengan senyuman. Ia juga tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sekarang. Ia bingung.
“sha.. makasih lo udah mau bantuin gw..” ucap Navi.
“kenapa enggak lo aja vi yang langsung kasih ini ke  Reva?” tanya Arsha.
Navi hanya tersenyum kecil. “Ada satu alasan kenapa gw gak bisa ketemu langsung sama Reva. Tolong kasih ini langsung ke Reva ya.. dan makasih banget“
Reva kemudian menyerahkan sebuah kotak berwarna biru langit kepada Arsha. Arsha  adalah teman dekat Reva dan juga teman sekelas Navi.
Arsha menerima kotak itu dan mengangguk pelan sebagai tanda ia akan melakukan permintaan yang Navi minta. “sama-sama vi.. tapi.. lo mau kemana? Kok lo gak masuk kelas?”
“gue mau balik ke Jepang. Dan kayaknya gue enggak akan balik lagi ke sini..” jelasnya.
“serius? Dan lo mau pergi gitu aja tanpa ngomong apa-apa sama Reva?”
Navi menggelengkan kepalanya. “gue gak pergi gitu aja sha.. lagipula dia pasti baik-baik aja..” katanya.
“Nav.. lo serius Reva pasti baik-baik aja?” tanya Arsha lagi.
“ya. Gue yakin.”
Arsha memandang Navi dengan kening berkerut. Tapi kemudian ia tersenyum dan menepuk pundak Navi. “Jangan lupain gw Vi, baik-baik disana ya.”
Navi mengangguk pelan, “tolong sampaikan salam gue buat Reva ya sha. Lo juga jangan lupain gue. J.” Navi bberhenti sejenak dan melirik jam tangannya. “kayaknya gue udah harus pergi. Pesawat gue dua jam lagi mau take off.” Lanjutnya.
Arsha menganggukan kepalanya. “hati-hati vi..”
Navi membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.  Ia berusaha tersenyum meskipun hatinya begitu berat.
Ia pergi dan meninggalkan semuanya. Ia ihklas. Ya ikhlas..

“sha.. tumben lo datang ke rumah gak kasih kabar dulu. Ada apa?” tanya Reva ketika mendapati Arsha datang ke rumahnya malam-malam.
“gue gak sempat ngasih kabar. Tadi buru-buru. Ada sesuatu yang mau gue kasih ke lo.” Jawab Arsha.
Reva kemudian mempersilakan Arsha masuk dan menuju taman belakang tempat biasa mereka menghabiskan waktu kalau arsha datang ke rumahnya.
“jadi.. ada apa sha?”
Arsha membuka tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah kotak berwara biru langit dari dalam tasnya. Ia kemudian meyodorkan kotak itu kepada Reva.
Reva mengerutkan keningnya dengan tatapan penuh tanya.
“ini.. dari Navi.” Ujarnya.
Reva menerima kotak  itu. Jantungnya kembali berdebar-debar.  Kenapa Navi tidak memberikannya langsung?
“katanya dia gak bisa ngasih ini langsung ke lo karena ada satu alasan.” Ucap Arsha  yang seakan bisa membaca pikiran reva.
“ tadi pagi dia datang ke sekolah buat nitipin ini ke gue. Dia bilang dia mau pergi..”
Reva hanya diam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya tiba-tiba bungkam.
“lo tahu kan bokapnya yang ada di Jepang? Katanya nyokapnya minta dia pulang ke sana karena kondisi kesehatan bokapnya udah membaik, dan Navi mau nemenin bokapnya disana.” Jelas Arsha lagi tanpa menunggu respon dari Reva.
Reva merasa seakan dadanya ditahan oleh batu besar. Sesak. Tapi Ia mencoba menahan diri agar tetap terlihat baik-baik saja.
“dia bilang enggak akan balik lagi ke sini.” Tambahnya.
“kapan dia pergi?” tanya Reva. ia berusaha menahan emosinya.
“tadi, setelah dia memberikan kotak ini katanya dia langsung menuju bandara. Dan pasti pesawatnya udah berangkat sejak tadi.” Jawab arsha.
Nafasnya tercekat. Reva tidak bisa menahannya lagi. Ia merasakan jantungnya akan meledak karena berdetak sangat cepat.
“i..itu aja..?” gumam Reva.
“va.. lo baik-baik aja kan? Maafin gue,, seharusnya gue ngasih ini lebih awal. Kalau aja tadi gw gak terhambat sama urusan OSIS.. ”
Reva terdiam. tatapannya kosong. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini.
“Va..?”
Mata reva mula berkaca-kaca. Ia meletakkan telapak tangannya di depan dada, “disini. Tiba-tiba rasanya sakit dan gue ngerasa sesak..” ucapnya pelan.
Arsha menatap temannya dengan nanar. “va.. lo sayang sama Navi? kalau memang hati lo bukan buat dia kenapa lo harus ngerasa sakit.?”
Matanya mulai terasa panas dan cairan hangat itu meluap  membasahi pipi reva tanpa bisa ia tahan.
“ta.. tapi yang gue suka daniel.. bukan Navi.” Sahutnya dengan suara bergetar.
Arsha mengusap air mata Reva dengan pelan , dan berkata “Va. Jangan bohongi perasaan lo lagi dan mementingkan ego sendiri. Coba lo hilangkan ego itu dan rasakan dengan apa yang hati lo rasa bukan dengan apa yang lo pikirkan..”
Tangisnya kemudian pecah. Ia tidak bisa lagi menahan air mata ini agar tidak jatuh. Dadanya terasa sangat sesak setiap kali ia  bersikeras untuk menahan semuanya.
“gue.. gue bingung. Gue bingung sama semua ini. gue bingung sama hati gue.. gue benci keadaan ini.. gue capek sha..”  ujarnya dengan tangis yang semakin histeris.
Arsha merangkul temannya itu dalam pelukan. “va.. Cuma lo yang tahu gimana perasaan lo. Cuma lo yang tahu jalan keluarnya.” Katanya pelan mencoba menenangkan.
Reva  larut dalam tangisannya. Air mata ini seakan enggan untuk berhenti dan kebingungan ini membuat Reva rasanya ingin mati. ya berlebihan. Namun semua ini terasa berat. Ia ingin melepaskan semuanya.
Jika ia bisa memohon. Tolong hilangkan semua perasaan ini. baik untuk daniel ataupun Navi. Bisakah?
Bisakah ia hidup tenang tanpa merasakan sakit di hati ini?
======

Reva  mengeluarkan isi dari kotak pemberian Navi. Didalamnya terdapat sebuah surat dengan amplop berwarna merah. Dan  juga beberapa foto. Objek foto itu adalah dirinya sendiri. Reva terpekur memandangi foto-foto itu.
“Kapan dia mengambil foto-foto ini” batinnya.
Semua foto itu diambil tanpa sepengetahuannya. Ketika ia sedang melamun, tertawa, belajar, tertidur  dan semua kegiatan yang dilakukan Reva.  Tapi tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah foto.
“foto ini..”
Di foto itu terlihat Reva yang hampir tertidur di bangku  halte bus karena menunggu papa menjemputnya. ia berpikir sejenak. Bagaimana mungkin. Reva baru mengenal Navi ketika ia satu sekolah di SMA.
Ia membaca tulisan yang ada di baliknya.
“wajahnya sangat lucu. Sepertinya ia sangat capek.. hehe .foto. ini aku ambil menggunakan kamera pertama yang diberikan oleh ayahku. Dan betapa terkejutnya  ternyata aku satu SMA dengannya. “
Reva merasakan jantungnya berdebar-debar.
Ia kemudian beralih pada amplop merah yang juga terdapat dalam kotak itu. Dengan ragu ia mulai membaca tulisan tangan Navi untuknya.

Reva..
Aku penasaran, waktu kamu baca surat ini kamu nangis apa enggak ya..? aku harap kamu gak nangis, kalau kamu nangis... kamu tahu, hatiku juga ikut  sakit.
Sejak awal kita bertemu, aku tahu hatiku terbawa pergi bersamamu..ya sejak awal bahkan sebelum kamu mengenalku.
Hari-hariku berubah. Aku merasakan debaran, rindu, dan sakit ketika aku mengenalmu.
Mulai dari bercanda, menggodamu, membuatmu kesal, dan semuanya membuatku sangat bahagia dan bersyukur., aku bersyukur karena pernah mengenalmu.
Meskipun aku tahu hati dan cintamu tidak pernah untukku, ketika pertama kali aku menyatakan perasaan ini dan mendapat penolakan,aku tetap yakin.  aku selalu percaya diri dan berkata, aku tahu segala hal akan indah pada waktunya. Dan aku tidak akan pernah berhenti berharap bahwa suatu saat kamu akan datang padaku.
Rasanya begitu sakit, namun aku tidak pernah bosan untuk mengejar dan berharap pada cintamu.
Aku ingin perasaan ini mengalir apa adanya.
Namun, ketika aku tersadar. Aku begitu jahat dan egois. Aku hanya memetingkan perasaanku  tanpa memandang dirimu. Aku menjadi penghalang perasaanmu. Meskipun aku tahu itu, aku tetap bersikeras untuk mengejarmu. Aku merasa jahat dan sangat egois. Iya kan?
Karena itu, aku melapaskanmu. Tapi bukan berarti aku menyerah pada cintamu.
Jika memang kamu takdirku, bukankah dengan sendirinya waktu akan membawamu kembali. Tapi jika bukan, maka aku ikhlas. J
Satu hal yang harus kamu tahu, aku mencintaimu sampai kapanpun.
Jika aku boleh memohon, bisakah kamu datang padaku? Bisakah kamu mengembalikan hatiku yang sudah terlanjur tertinggal?
Bisakah,, kau berbalik arah dan mencintaiku.?
Bahkan ketika akhirnya aku melangkahkan kaki ini pergi, aku masih memohon kepada tuhan bahwa kamu akan berbalik dan melihatku. 
Tapi semua hanya harapan. Harapan yang sulit untuk kugenggam.
Kenangan yang kamu berikan akan tersipan rapi dalam ingatanku. Aku pergi, untukmu..
Aku tidak pernah lelah untuk menanti..
Aku hanya mengalah pada kenyataan.. Aku tidak ingin melukaimu..
aku ingin kamu bahagia bersama orang lain. Aku ikhlas. Dan.. jangan menangis lagi. Kamu ingat kan,, kalau kamu tidak ingin aku datang padamu, jangan menangis dan hiduplah bahagia. Maka aku tidak akan datang padamu.
Dan.. Reva. aku.. aku mencintaimu. Entah sampai kapan. Tapi aku berharap aku bisa berhenti mencintaimu kalau aku bisa.. tapi, aku tidak pernah bisa melakukannya.
maaf kalau aku pernah membuat masalah dalam hidupmu.
Kita tetap bersahabat bukan?
Navi

Reva memejamkan matanya. Tangannya bergetar memegang secarik kertas itu. Tangisnya pun pecah. Ia menyesali semuanya. Ia menyesali kebodohannya. Mengapa ia harus merasakan semua ini begitu terlambat?Ia mengutuk perasaannya sendiri. Saat ini ia hanya berharap waktu bisa membawanya kembali. Tapi semua hanya harapan bodoh yang tidak akan pernah terjadi.  
Tangisnya semakin histeris. Ia membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri menahan agar tangisnya tidak terdengar oleh orang lain.
bisakah navi kembali padanya? Jangan pergi!


3 tahun kemudian.
“barang-barang udah legkap va..?” ujar Arsha.
Reva mengingat-ingat dan mengecek kembali barang-barang yang akan dibawanya. “hem kayaknya udah semua deh.” Jawab reva.
“yaudah. Ayo kita segera ke bandara. Takutnya nanti macet dijalan.” Kata Daniel yang juga berada disitu. Ia lalu memasukan koper-koper yang dibawa Reva masuk ke Bagasi.
“Thanks niel..”
Mereka pun masuk ke dalam mobil. arsa duduk di jok belakang dan Reva duduk disamping kursi kemudi yang diduduki daniel.
Danielpun segera menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi menuju bandara.
Sepanjang perjalanan mereka hanya terdiam. Daniel fokus mengemudikan mobil dan Arsha sibuk makan-katanya ia tidak sempat sarapan- dan Reva sibuk dengan pikirannya sendiri.
Dua jam kemudian mereka sampai  di bandara.
Masih ada waktu sekita setengah jam lagi sebelum pesawat take off. Merekapun duduk di kursi tunggu sambil berbincang.
“Va, keputusan lo udah bulat mau tinggal di Bali?” tanya Arsa.
Reva mengangguk pelan ,”iya lah. Gue rasa, gue butuh suasana baru. Lagipula gue kesana buat bantu papa mengelola restorannya sambil kuliah.” Jawabnya.
“gue pasti kangen banget sama kamu Va.” Ucap Daniel menambahkan.
“sekarang kan jaman udah canggih. Banyak cara buat komunikasi.”
Mereka pun mengobrol sesekali bercanda dan tertawa bersama. Kemudian terdengar suara peberitahuan bahwa pesawat akan segera berangkat dan penumpang diharapkan segera naik. Mereka pun bangkit dari duduknya. 
“nah udah waktunya, gue harus pergi” ucap Reva.
Arsha menampakkan wajah sedihnya dan matanya yang mulai berkaca. Gadis ini memang selalu kadang berlebihan.
“sha gue Cuma pergi ke Bali dan gue enggak pergi jauh jadi lo gak perlu sedih berlebihan gitu ah..”
“Tapi kan tetap aja kita gak bisa ketemu. Nanti siapa yang bayarin gue makan lagi...” kata Arsha sambil terisak pelan.
Reva hanya tertawa kecil mendengar perkataan sahabatnya yang satu itu. Ia lalu memeluk sahabatnya, “pas liburan lo kan bisa mampir ke Bali.. nanti disana gue traktir lo makan sepuasnya di restoran papa. Oke..”
Kemudian ia beralih pada Daniel yang sedari tadi diam.  Reva pun melangkah mendekat ke arah Daniel dan memeluknya juga.
“Jaga diri baik-baik ya. Dan jangan lupain aku.  Aku  yakin kamu pasti akan mendapatkan seseorang yang baik. lebih dariku. Meskipun aku enggak bisa ngasih jawaban yang kamu mau, tapi kamu selalu jadi sahabat terbaikku. Dan kamu juga begitu kan..?”
“i’ll miss you va. Tentu, aku akan selalu jadi sahabat terbaik buat kamu.”
Dan.. aku juga akan tetap mencintai kamu.
“I’ll miss you too..”  ucap Reva. ia kemudian melepaskan pelukannya.
Ia merasa matanya mulai terasa panas. Terlalu banyak kenangan disini yang akan ia rindukan. Arsha, Daniel. Ia akan sangat merindukan masa-masa ketika mereka bercanda dan tertawa bersama.
Bahkan kenangan tiga tahun lalu ketika mereka sama-sama masih SMA msih tersimpan rapi dalam memorinya. Termasuk orang itu. Navi.
“aku sama Arsha pasti datang ke Bali kalau kuliah kita libur..” ujar Daniel.
“kalau sudah sampai jangan lupa kasih kabar ke gue ya Va..” tambah Arsha.
Reva kemudian berbalik badan dan berjalan pergi meninggalkan kedua sahabatnya. Setelah melewati penjaga dan memberikan tiketnya, ia kembali menoleh dan melambaikan tangannya untuk terakhir kalinya.
Setitik air mata mengalir dari matanya.


 Reva sudah berada di dalam pesawat. Ia langsung menduduki kursinya. Di samping tempat duduknya ternyata telah diisi oleh seorang laki-laki. Reva hanya melihatnya sekilas karena ia memakai kacamata hitam dan wajahnya tertutup koran yang ia baca. Reva tidak terlalu menghiraukan orang itu.
Kemudian datang seorang pramugari yang menghimbau agar segera mengenakan sabuk pengaman karena pesawat akan segera take off.
“maaf nona. Silakan kenakan sabuk pengaman anda.” Ujar si pramugari itu dengan sopan.  Reva hanya mengangguk. Sebenarnya ia agak sedikit tegang karena ini pertama kalinya ia naik pesawat. Ia membayangkan kejadian-kejadian kecelakaan pesawat yang ia tonton di berita-berita.  Membuatnya bergidik.
Tidak berapa lama pesawat mulai berjalan. Keringat dinginpun mulai membasahi keningnya. Ia berdebar. dan.. guncangan pesawat semakin kencang karena mulai naik.
Reva memejamkan matanya, ia merasa tangannya dingin. Tapi tiba-tiba ia merasakan tangannya hangat. Seperti digenggam oleh seseorang. Entah mengapa Reva merasa sedikit tenang, matanya tetap terpenjam.
Beberapa menit kemudian, guncangannya mulai hilang. Dan pesawat terbang dengan tenang.
Reva membuka matanya perlahan dan menghela nafas. Ia masih hidup, syukurlah.
Eh tunggu. Ia masih merasakan tangannya hangat. Ia terperanjat. Ternyata seseorang memang menggenggam tangannya.  Dia orang yang duduk disampingnya.
Ia mengamati orang itu dan nafasnya tercekat ketika mengenali siapa dia.
“muka kamu lucu ya kalau ketakutan.. “ ucapnya sambil melepaskan kacamata hitam yang ia kenakan.  Ia kemudian tersenyum.
“Navi..” gumam Reva nyaris tidak terdengar.
“ya.. Reva. lama enggak ketemu.. “ ucapnya lagi. masih dengan senyuman tersungging di wajahnya.
Entah mengapa air mata tiba-tiba mengalir dari pelupuk mata Reva. Navi. Jangan-jangan Reva hanya bermimpi.
tIdak ini kenyataan. Navi memang berada didepannya saat ini. tanpa sadar badannya terdorong dan langsung memeluk Navi.  Navi sedikit terkejut, namun akhirnya ia membalas pelukan Reva.
Reva hanya terdiam  dan menangis dalam pelukan Navi.  Ia tidak perduli orang-orang di sekitarnya melihat mereka. Ia hanya ingin memeluk Navi. Ia sangat merindukan orang itu.
“ jangan pergi lagi.” ucap Reva lirih.
Navi mengangguk pelan sambil mengusap lembut rambut Navi, “Kalau kamu bilang gitu, aku enggak akan pergi.”
Reva mendekap Navi semakin erat. Ia menangis tersedu dalam pelukan sahabatnya itu. Sahabat yang ia cintai. Ia tidak akan melepaskannya lagi. pun Navi juga tidak akan pernah melepaskan Reva lagi.
Ternyata benar. Jika memang seseorang telah ditakdirkan untukmu, maka waktu yang akan mengembalikannya padamu. Tiga tahun bahkan tidak sedikitpun merubah perasaan mereka terhadap satu sama lain.  Karena inilah takdir.


__
End
Haha ini cerpen yang rada gak jelas sih ya. karena udah terlanjur begini adanya jadi gue lanjutin terus-terusan. Ceritanya juga masih belum jelas ya mhon maklum masih belajTWE

kalo yg baca gak ngerti sama ceritanya sama saya juga.. eh *pletak 
DON’T COPAS peliss.. J