Minggu, 01 Juli 2012

BAPAK (cerpen)

BAPAK 


Langit jingga mengiringi langkah kami. Dengan tangannya yang kekar, ia mendorong gerobak kesayangannya itu menyusuri pinggiran jalan Kota Jakarta. aku mengikutinya dari belakang dalam diam  memandangi punggung lelaki setengah baya itu. 
pundaknya yang kekar menggambarkan betapa ia begitu kuat menahan beban hidup yang ia alami. dialah bapakku 

-----

"Sa..sudah sholat magrib?" tanya bapak yang tiba-tiba datang dari dalam kamar dengan mengenakkan sarung lusuhnya. 

aku mengangguk pelan, "Sudah Pak.." 

"yasudah. lanjutkan belajarmu" ucapnya lagi. kemudian ia menghampiri lemari usang yang berada disudut ruangan. ia mengeluarkan Al Quran dari dalamnya. Al Quran itu juga sudah usang dan beberapa halamannya mulai robek karena setiap Bada magrib  bapak menyempatkan diri untuk membacanya. 

Lantunan ayat suci mulai menyelimuti rumah kecil kami. Aku menghentikan kegiatanku dan terdiam.  Suaranya begitu merdu, tenang dan damai. siapapun yang mendengar bapak mengaji akan  terhanyut dalam gelombang merdu yang bapak hasilkan. seperti layaknya diriku saat ini. 

Bapak selalu bilang. Pendindikan setinggi apapun dan harta sebanyak apapun tidak menjamin kita hidup tenang dan damai di dunia. Namun, Jika kita rajin beribadah dan senantiasa membaca Al Quran niscaya hidup kita akan tenang dan damai. tidak hanya dunia,. tapi juga di Akhirat.

begitulah katanya. ya. aku selalu mengingat perkataanya. 


bagiku, Bapak bukanlah hanya sekedar "bapak" bagiku. Tapi dia adalah sosok yang kusanjung dan sangat kuhargai. 


Bapak merawat kami, aku dan adikku seorang diri. Sedangkan Ibuku.. entah berada dimana. satu-satunya ingatan ku tentangnya adalah ia meninggalkan bapak karena merasa tidak puas dan lelah hidup dibalut kemiskinan. kasarnya dia mencampakkan kami. 


Tapi bapak tidak pernah membencinya.  sesekali kudapati bapak sedang  memandangi foto usang ibu yang selalu ia taruh dibawah bantalnya. hanya itulah satu-satunya barang peninggalan ibu selain rasa sakit yang ia torehkan di hati Bapak dan aku tentunya.

Adikku Faisal. ketika itu dia masih bayi. Dia belum sempat merasakan kasih sayang ibunya dan mengingat wajahnya ibunya. dulu, ketika Faisal mulai menanyakan dimana keberadaan ibunya padaku. aku hanya diam dan menatapnya dengan tatapan menerawang. aku tidak tahu harus menjawab apa. 

namun bapak akan mengusap kepala faisal dengan pelan dan tersenyum. "Ibu pergi tapi faisal tenang saja, ibu suatu saat akan balik lagi kesini." begiitulah jawabnya.

ya.. bapak percaya. bahwa ibu akan pulang dan berkumpul bersama kami lagi. tapi, bertahun-tahun ibu tidak pernah kembali. kadang dibalik rasa benciku pandanya, ada setitik rasa percaya bahwa ibu akan pulang. Tapi seiring berjalannya waktu aku tahu semua hanyalah harapan kosong yang menyakitkan. 



(masih dalam proses, cerpen belum selesai.. haha XD ) 2











Tidak ada komentar:

Posting Komentar